jump to navigation

kesulitan ekonomi tahun 2005 Agustus 20, 2008

Posted by luqman hakim in ekonomi.
add a comment

Tahun 2005 yang seharusnya menjadi tahun kebangkitan ekonomi nasional ternyata harus dilewati bangsa dengan berbagai cobaan. Kenaikan harga BBM yang sangat tinggi, kelangkaan BBM dan kebutuhan pokok, serta depresiasi rupiah dan inflasi tinggi telah berdampak buruk pada menurunnya kesejahteraan rakyat dan meningkatnya kemiskinan.

Konon, rentetan beban di atas muncul lantaran pemerintah sangat ragu-ragu dalam mengambil kebijakan menaikkan harga BBM. Namun bulan lalu, pemerintah akhirnya memutuskan kenaikan harga BBM secara rata-rata mencapai 114 persen, yang kemudian disusul dengan kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga.

Pemerintah pun melalui ekonom pendukungnya sangat aktif memberikan kesan bahwa kombinasi kedua kebijakan tersebut berhasil mendorong ekonomi menuju kestabilan dan mengakhiri masa sulit yang dihadapi bangsa. Benarkah?

Keliru Interpretasi
Ceroboh jika dikatakan bahwa kurs rupiah yang stabil menjelang Lebaran serta over-subscribe penjualan obligasi pemerintah dan penurunan penjualan BBM oleh Pertamina merupakan sinyal perbaikan ekonomi menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.

Perlu dipahami, kurs rupiah yang stabil menjelang Lebaran merupakan fenomena yang lumrah terjadi sejak beberapa tahun belakangan. Para pemilik uang biasanya menarik dana yang relatif besar dari luar negeri untuk membayar tunjangan hari raya (THR) sehingga sangat membantu keseimbangan nilai tukar rupiah. Dampak kenaikan harga BBM terhadap rupiah yang sesungguhnya baru dapat dilihat pada beberapa minggu setelah Lebaran.

Namun, logikanya, dengan inflasi yang meroket di tengah fundamental ekonomi yang semakin rapuh, sulit berharap rupiah akan menguat atau bahkan stabil. Apalagi pada akhir tahun, akan ada permintaan dolar yang cukup tinggi sehubungan dengan banyaknya utang swasta yang jatuh tempo.

Demikian juga, over-subscribe dalam penawaran obligasi pemerintah seharusnya bukan merupakan sesuatu yang perlu dibanggakan karena memang yield yang ditawarkan pemerintah cukup menggiurkan investor. Wajar jika akhirnya investor berbondong-bondong melakukan penawaran.

Interpretasi lain yang juga sangat ceroboh adalah terhadap fakta menurunnya penjualan BBM oleh Pertamina sekitar 27 persen, antara beberapa waktu sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. Penurunan yang signifikan tersebut telah diklaim sebagai efektifnya kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dalam upaya menghemat penggunaan energi nasional.

Padahal, seperti diketahui, beberapa waktu sebelum kenaikan harga BBM, permintaan BBM melonjak tajam karena ulah para spekulan yang menimbun BBM. Jika setelah kenaikan harga terjadi penurunan penjualan dari Pertamina, tentu tidak lantas konsumsi BBM dikatakan telah menurun karena masyarakat masih harus mengonsumsi stok yang ada.

Kesulitan Babak Kedua
Terlepas dari berbagai kekeliruan di atas, kesimpulan bahwa telah terjadi perbaikan ekonomi setelah kenaikan harga BBM dan suku bunga hanya merupakan upaya Tim Ekonomi Kabinet untuk membenarkan pilihan kebijakan yang telah diambil. Padahal, alih-alih membaik, ekonomi justru saat ini mulai menunjukkan tanda-tanda akan memasuki periode kesulitan yang baru.

Inflasi Oktober 2005 sekitar 17,9 persen, yang jauh melebihi ekspektasi pemerintah, ekonom, dan bahkan Bank Indonesia, merupakan sinyal buruk akan terjadinya persoalan baru di sektor riil dan moneter. Memang inflasi bulan ini mungkin saja menurun. Tetapi, penurunannya tidak akan signifikan, yaitu sekitar 1-2 persen, sebagai koreksi terhadap berakhirnya Lebaran.

Dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain harus menanggung beban yang berat dengan kenaikan biaya transportasi, masyarakat juga harus menanggung kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya. Daya beli masyarakat terus merosot tajam dan hanya akan tertolong jika terjadi penyesuaian penghasilan atau gaji.

Sialnya, industri juga mengalami pukulan berat, bahkan dari dua sisi sekaligus, yaitu peningkatan biaya modal (cost of fund) dan biaya produksi. Peningkatan biaya modal diakibatkan semakin tingginya tingkat suku bunga sehingga menambah beban cicilan utang yang harus dibayar. Sementara biaya produksi praktis meningkat seiring dengan semakin tingginya harga BBM dan harga bahan baku lainnya.

Karena itu, jangankan menaikkan gaji, menanggung tambahan biaya operasional dan biaya modal saja tidak mampu. Isu bahwa akan ada ratusan perusahaan yang menghentikan aktivitas setelah kenaikan harga BBM sangat berpotensi menjadi kenyataan.

Di sisi lain, perbankan juga akan mengalami tekanan yang tidak kalah beratnya. NPL pada kuartal ketiga 2005 yang telah cukup mengkhawatirkan sekitar 8,9 persen dipastikan akan semakin meningkat. Permintaan kredit pun cenderung akan menurun. Kredit konsumsi, misalnya, akan turun tajam dengan fakta bahwa penjualan mobil menurun 31 persen (year on year) pada Oktober 2005.

Singkatnya, pengelolaan ekonomi yang semrawut dan penyelesaian persoalan yang sering dadakan selama setahun terakhir tidak hanya telah menjadi beban masyarakat sepanjang tahun, tetapi juga telah mengantarkan Indonesia memasuki babak baru kesulitan ekonomi.

Koreksi minor kabinet yang dijanjikan Presiden SBY sangat dikhawatirkan hanya cukup untuk memberikan kesan perubahan. Tetapi, tidak mengoreksi berbagai kesemrawutan dalam pengambilan kebijakan selama ini dan mengakhiri beban rakyat yang semakin berat pada tahun mendatang.

income yang memprihatinkan Indonesia Agustus 20, 2008

Posted by luqman hakim in ekonomi.
add a comment

25 tahun terakhir, kemajuan yang dicapai Indonesia dari sisi Income per capita cukup memprihatinkan. Paling buruk di antara Malaysia, China, Vietnam, Thailand dan Korea. Pada periode 1980-2005, Indonesia hanya mencatat kenaikan income per capita sekitar 4,5 kali. Padahal Malaysia berlipat sebanyak 4,9 kali. Thailand 6,3 kali. Vietnam 7,2 kali. Korea 8,6 kali. China bahkan mencapai 16,1 kali.

Tentunya, Indonesia menginginkan adanya perbaikan dalam 25 tahun ke depan. Tidak lagi mengulangi pengalaman buruk yang terjadi pada 25 tahun sebelumnya. Nah, kebetulan baru-baru ini, Yayasan Indonesia Forum meluncurkan visi Indonesia 2030. Dalam visi tersebut, Income per capita Indonesia diproyeksikan mencapai US$ 18 ribu pada 2030.

Pertanyaannya, seandainya visi ini tercapai, apakah Indonesia dapat dikatakan telah lebih baik?

Jika dihitung, angka US$ 18 ribu pada 2030 ternyata hanya sekitar 4,5 kali dari income perkapita tahun 2005 (US$ 4.04 ribu). Dengan kata lain, jika visi tersebut benar terjadi, Indonesia justru mengulang periode memprihatinkan pada 25 tahun sebelumnya.

Tapi anehnya, koq banyak kalangan, bahkan Presiden SBY sendiri menyatakan visi itu terlalu berani ya?

IMF… memangnya dewa??? Agustus 20, 2008

Posted by luqman hakim in ekonomi.
3 comments

Siapa tak kenal IMF. Sepak terjang lembaga tsb selama beberapa dekade terakhir telah menjadi buah bibir berbagai kalangan di seluruh penjuru dunia. IMF adalah lembaga kreditor internasional yang mengklaim dirinya mampu menolong negara-negara dari kesulitan keuangan. Layaknya seorang dokter, IMF melakukan diagnosa penyakit, menuliskan resep-resep penyembuhan, sekaligus juga menentukan biaya yang dibebankan ke si pasien.

Ironisnya, setelah puluhan tahun memberi pertolongan keuangan kepada negara anggotanya, IMF kini justru balik menderita kesulitan keuangan sendiri. Akhir tahun lalu, negara-negara pemegang kendali IMF bahkan telah memaksa Direktur Pelaksana IMF yang baru, Dominique Strauss-Kahn untuk melakukan pemotongan anggaran secara besar-besaran.

Dewa penolong rupanya tengah membutuhkan pertolongan. Sang dokter ahli gizi ternyata sedang menderita gizi buruk.

BUAH KEGAGALAN
Kesulitan keuangan yang dihadapi IMF tidak lepas dari kegagalan program IMF di berbagai negara, yang terakumulasi menjadi ketidakpercayaan dari negara anggotanya. Dalam banyak kasus, keberadaan IMF bukannya malah menolong, namun justru semakin memperparah kondisi ekonomi negara pasiennya. Menolong hanya dalih, karena faktanya IMF lebih sering mendikte negara pasiennya untuk menjalankan kebijakan ekonomi pilihan IMF, yang sebenarnya tidak sesuai dan banyak bertentangan dengan permasalahan dan kebutuhan negara pasiennya.

Salah satu kritik utama yang pernah dilontarkan sejumlah kalangan adalah IMF selalu memberikan resep yang sama untuk kasus-kasus yang dihadapi oleh berbagai negara. Tak peduli jenis maupun penyebab penyakitnya, resep standar tsb selalu digunakan untuk mengobati pasiennya. Resep standar yang berjuluk Structural Adjustment Program (SAP) tsb berisi kebijakan-kebijakan ekonomi yang sealiran dengan Konsensus Washington, yang dibelakangnya tersembunyi kepentingan-kepentingan negara-negara maju.

Salah satu elemen penting dari SAP adalah efisiensi anggaran, melalui pemotongan berbagai jenis subsidi termasuk subsidi pendidikan, kesehatan dan subsidi energi. Meskipun diklaim bertujuan untuk meningkatkan efisiensi anggaran, namun program tsb tidak lebih untuk menjamin ketersediaan anggaran sehingga negara pasiennya mampu mencicil bunga utang kepada IMF maupun negara kreditor internasional. Padahal negara pasien harus menanggung beban berat karena akibat kebijakan tsb. Kelompok miskin tidak lagi mampu mengakses pendidikan dan kesehatan yang layak, daya beli masyarakat anjlok, dan kesenjangan pendapatan semakin melebar.

Elemen SAP lain yang cukup dikenal adalah privatisasi atau divestasi aset negara (BUMN). Meskipun diklaim dapat meningkatkan efisiensi BUMN, namun dalam implementasinya, penjualan aset BUMN lebih banyak merugikan negara pasien karena dijual dengan harga yang sangat murah dan menyebabkan PHK terhadap ratusan karyawan BUMN. Program IMF tersebut justru dimanfaatkan oleh investor-investor asing, yang sebagian adalah rekanan IMF sendiri, untuk membeli aset-aset di negara berkembang dengan harga semurah-murahnya.

Dengan pendekatan yang mendikte seperti di atas, tidak heran jika sejumlah negara akhirnya lebih memilih untuk meninggalkan IMF dan menghentikan kerjasama bahkan lebih cepat dari waktunya. Sebut saja Argentina, Nigeria dan Indonesia yang beberapa tahun lalu memutuskan untuk mempercepat pelunasan utang kepada IMF, dan menyebabkan lembaga kreditor tersebut kehilangan sumber penerimaan yang sangat besar.

KENA KARMA
Kini IMF mendapat karma dari berbagai programnya ke negara-negara berkembang. Berdasarkan dokumen internal IMF yang bocor ke media, IMF berencana melakukan Structural Adjustment demi menyelamatkan lembaga tersebut dari kerugian yang terus menerus. Inti dari program tersebut adalah efisiensi anggaran melalui rasionalisasi, perombakan birokrasi dan efisiensi pemanfaatan aset IMF, yang tidak lain merupakan program sejenis dengan yang pernah IMF paksakan ke negara anggotanya. Dalam dokumen internal tsb, dikatakan bahwa IMF berencana melakukan PHK terhadap sekitar 300-400 karyawannya dan mendorong sejumlah karyawan senior untuk mengambil pensiun dini. IMF juga berencana menggabung beberapa divisi dalam struktur organisasinya, mengurangi produksi laporan, mengefisienkan pemanfaatan aset dengan menyewakan gedung dan apartemen milik IMF, dll.

Tidak mudah bagi IMF untuk mengimplementasikan berbagai rencana efisiensi tsb, karena IMF harus bekerja keras memikirkan cara menghadapi karyawannya. Pasalnya, suasana internal karyawan IMF sedang sangat sensitif dan penuh konflik. Ini setelah tahun 2006 lalu, manajemen IMF merestrukturisasi kompensasi yang mendapat perlawanan keras dari karyawannya. Asosiasi karyawan bahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah IMF, melakukan tuntutan hukum kepada manajemen IMF. Malahan kabarnya, karyawan IMF pernah menggunakan pakaian serba hitam sebagai simbol protes terhadap kebijakan kompensasi oleh manajemen.

Lembaga yang selama ini menasihati negara berkembang untuk melakukan pemotongan anggaran dipaksa harus berpikir keras untuk mencari cara memotong anggarannya sendiri. Lembaga yang selalu menekankan pentingnya efisiensi aset negara dan reformasi birokrasi, kini dipaksa memikirkan solusi untuk mengefisiensikan penggunaan aset dan reformasi birokrasinya sendiri. Lembaga yang selama ini seperti berpura-pura tidak tahu akan dampak buruk dari berbagai kebijakannya, kini harus siap menghadapi sendiri dampak buruk tersebut.

IMF selama ini begitu mudahnya memberikan saran pemotongan anggaran, menjual aset-aset negara, mengetatkan likuiditas, melakukan reformasi birokrasi, dll, karena tidak menghadapi resiko akan dampak buruknya bagi ekonomi dan nasib rakyat miskin di negara pasiennya. Namun kini IMF dipaksa harus melaksanakan sendiri berbagai kebijakan tersebut, dan sekaligus harus siap-siap menanggung resikonya. Karma itu telah datang dan mudah-mudahan IMF bisa menarik banyak pelajaran darinya.

SEJARAH BEI Agustus 6, 2008

Posted by luqman hakim in pasar modal.
add a comment

Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.

Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan sebagimana mestinya.

Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah.

Secara singkat, tonggak perkembangan pasar modal di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:

  • 14 Desember 1912 :  Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda.
  • 1914 – 1918 :  Bursa Efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I
  • 1925 – 1942 :  Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya
  • Awal tahun 1939 : Karena isu politik (Perang Dunia II) Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup.
  • 1942 – 1952 :  Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia II
  • 1952 :  Bursa Efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri keuangan (Prof.DR. Sumitro Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagangkan: Obligasi Pemerintah RI (1950)
  • 1956 :  Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa Efek semakin tidak aktif.
  • 1956 – 1977 :  Perdagangan di Bursa Efek vakum.
  • 10 Agustus 1977 :  Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama.
  • 1977 – 1987 :  Perdagangan di Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal.
  • 1987 : Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.
  • 1988 – 1990 :  Paket deregulasi dibidang Perbankan dan Pasar Modal diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat meningkat.
  • 2 Juni 1988 :  Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer.
  • Desember 1988 : Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES 88) yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal.
  • 16 Juni 1989 :  Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya.
  • 13 Juli 1992 :  Swastanisasi BEJ. BAPEPAM berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ.
  • 22 Mei 1995 :  Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems).
  • 10 November 1995 : Pemerintah mengeluarkan Undang –Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai diberlakukan mulai Januari 1996.
  • 1995 :  Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya.
  • 2000 : Sistem Perdagangan Tanpa Warkat (scripless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia.
  • 2002 : BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading).
  • 2007 : Penggabungan Bursa Efek Surabaya (BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).

IHSG, berapa support level mu? Agustus 6, 2008

Posted by luqman hakim in pasar modal.
add a comment

Pembekuan dua hedge fund milik Bear Stearns tanggal 1 Agustus lalu adalah awal dari semuanya. Baru kemudian terkuak bahwa banyak hedge fund ternama lain yang juga terkena dampak subprime loan di AS.

Sowood Capital (US), American Home Mortgage( US), BNP Paribas, AXA SA (French), KfW, IKB Deutsche Industrial bank AG (Germany), Basis Capital Fund, Absolut Capital, Fortress Investments (Australia) adalah beberapa di antaranya.

Indeks bursa AS pun goyang, yang diikuti anjloknya bursa saham hampir di seluruh dunia. Tapi anehnya, bursa Jakarta yang emiten-emitennya relatif tidak memiliki exposure terhadap subprime loan di AS justru memimpin koreksi bursa dunia.
Semula dikira hanya dampak temporer, tetapi karena hingga hari ini JSX terus memimpin koreksi, banyak investor yang akhirnya mulai bingung dan bertanya “IHSG, berapa support level mu?”

Terperangkap Stabilitas Finansial Agustus 6, 2008

Posted by luqman hakim in ekonomi.
1 comment so far

Setelah mengeluarkan berbagai paket ekonomi, pekan lalu Menko Perekonomian Boediono, kembali menyampaikan strategi kebijakan ekonomi nasional pada tahun ini. Dikatakan bahwa objektif utama pemerintah pada tahun 2006 adalah menstabilkan makroekonomi dengan menurunkan inflasi kembali menjadi satu digit. Baru kemudian diikuti dengan upaya membalikkan kemerosotan ekonomi dan menghidupkan investasi.

Sepintas memang menurunkan inflasi adalah kebijakan ekonomi yang paling masuk akal untuk dijadikan prioritas tahun ini. Pasalnya, inflasi tinggi tahun 2005 telah menjadi momok paling menakutkan bagi kalangan sektor riil dan industri keuangan.

Namun melihat perkembangan ekonomi beberapa bulan terakhir dan juga pengalaman kebijakan ekonomi pemerintah sebelumnya, strategi ekonomi yang lebih memprioritas inflasi dan stabilitas finansial sesungguhnya bukan merupakan sebuah langkah yang tepat.

Pertama, inflasi bukan lagi menjadi persoalan utama tahun ini. Memang benar pada tahun 2005, inflasi mencapai 17,1% dan menjadi sumber utama kemerosotan ekonomi sepanjang tahun. Tetapi apakah inflasi tahun 2006 akan setinggi tahun 2005?

Rasanya tidak. Tanpa upaya ekstra pun, inflasi diyakini akan jauh lebih rendah dan bahkan bukan tidak mungkin bisa mencapai level satu digit. Terkecuali pemerintah sendiri yang menciptakannya dengan kembali menaikkan harga-harga setinggi tahun 2005.

Tengok saja kecenderungan inflasi selama tiga bulan terakhir. Sejak Desember 2005 sampai Februari 2006, inflasi kumulatif hanya mencapai 1,9% atau secara rata-rata hanya sekitar 0,63% per bulan. Kencenderungan tersebut seharusnya relatif tidak terlalu berbahaya bagi ekonomi.

Kedua, stabilitas finansial memang penting, tetapi seharusnya tidak menjadi objektif utama, melainkan hanya sebagai objektif antara. Objektif utama suatu pemerintahan di bidang ekonomi tetap pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran.

Ini penting karena jika prioritasnya dibalik, maka langkah-langkah untuk mencapai stabilitas finansial seringkali kontradiktif dengan upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mengurangi pengangguran. Persis seperti yang terjadi pada ekonomi Indonesia periode 2002-2004.

Ketika itu, tim ekonomi pemerintah juga sangat mendewakan stabilitas finansial. Hasilnya, inflasi berhasil dijaga pada tingkat yang rendah antara 5-7%, kurs rupiah stabil pada level Rp 8.000 – 9.000 per US$ dan defisit anggaran berhasil ditekan dibawah 2% dari PDB. Tetapi di sisi lain, ekonomi tumbuh rendah sekitar 4-5% dan angka pengangguran meningkat dari 8,1% menjadi 9,9%.

Kondisi tersebut sekaligus juga telah menjadi titik lemah kinerja ekonomi di bawah Presiden Megawati sehingga menjadi sasaran kritik oleh hampir semua partai dan calon Presiden pada Pemilu tahun 2004. Pasangan SBY-JK bahkan secara optimal telah mamanfaatkan tingginya tingkat pengangguran sebagai bahan kampanye pemilihan Presiden.

Ketiga, sulit dimengerti, mengapa Menko Perekonomian harus terus menerus mengurusi stabilitas finansial dan moneter? Padahal urusan tersebut jelas merupakan wewenang Bank Indonesia. Meski tidak ada salahnya, tetapi sektor riil dan fiskal juga memiliki masalah tersendiri yang membutuhkan perhatian sangat besar dari Menko Perekonomian.

Di pasar barang, misalnya, para pedagang terus mengeluhkan penurunan penjualan. Hasil survei Bank Indonesia di 5 kota besar menunjukkan indeks riil penjualan eceran secara persisten terus mengalami kemerosotan. Jika pada bulan April 2005 mencapai 180,6, maka pada Februari 2006 hanya tinggal 131,2, atau tumbuh negatif sekitar 27%.

Para pengusaha di sektor industri juga mengalami pukulan yang berat akibat tingginya biaya operasional. Gelombang PHK semakin meningkat dan di sejumlah daerah, sebagian pengusaha bahkan telah memutuskan untuk menutup pabriknya.

Pertanyaannya, adakah yang telah dilakukan Menko Perekonomian untuk mengakhiri kemerosotan ekonomi tersebut setelah tiga bulan bekerja? Praktis tidak banyak, jika tidak ingin mengatakan tidak ada. Tindakan Menko yang bolak-balik mengurusi inflasi, suku bunga dan indikator finansial lainnya malah memberi kesan lari dari tanggung jawab dan cenderung menjadi upaya untuk mencari credit point.

Paket infrastruktur dan paket investasi yang disusun Menko pun pastinya bukanlah solusi. Pasalnya, paket investasi ternyata hanya paket “ompong melompong” yang berisi rencana kebijakan akan ini dan akan itu. Waktu pelaksanaannya pun sarat dengan penyelesaian peraturan perundang-undangan, yang membutuhkan proses penyelesaian yang sangat lama. Padahal derita sektor riil terus berpacu dengan waktu.

Satu hal lagi, akhir-akhir ini Indonesia dihadapkan pada persoalan strategis di bidang ekonomi yang menyangkut investasi dan keamanan berbisnis. Freeport menghadapi permasalahan karena masyarakat Papua mendesak perusahan tersebut menghentikan operasinya. Exxon Mobil dan Pertamina menghadapi persoalan terkait dengan pengoperasian Blok Cepu, yang akhirnya dimenangkan Exxon Mobil. Demikian juga Cemex yang berencana melakukan penjualan sahamnya di Semen Gresik.

Namun Menko Perekonomian kurang memberikan perhatian terhadap berbagai persoalan stategis tersebut. Padahal, apa gunanya Menko melakukan kampanye kebijakan investasi jika persoalan investasi yang ada di depan mata saja tidak diperhatikan?

Singkatnya, menjaga stabilitas finansial penting. Tetapi tidak lantas membuat kita naif dengan persoalan dan dinamika ekonomi riil jangka pendek. Menko Perekonomian beserta Tim-nya harus membuka diri, melihat masalah ekonomi secara lebih realistis agar tidak terus terperangkap dengan upaya mencapai stabilitas finansial.

Skenario mimpi pertumbuhan ekonomi negara kita Agustus 6, 2008

Posted by luqman hakim in berita.
add a comment

Bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi 6,5 persen pada tahun 2007?
Pusat Penelitian Ekonomi LIPI punya skenarionya:
Untuk mencapai pertumbuhan sebesar itu, maka diperlukan rasio investasi terhadap PDB sekitar 30 persen. Jadi nilai PDB riil 2007 diperkirakan Rp 1.967 triliun, karena itu nilai investasi yang dibutuhkan sekitar Rp590 triliun. Padahal nilai realisasi PMDN dan PMA hingga Oktober 2006 baru mencapai Rp55 triliun

Namun demikian, besar kemungkinan skenario mimpi ini muncul karena peneliti LIPI melupakan beberapa hal berikut:

Pertama, Investasi nominal di BKPM tidak bisa diperbandingkan dengan investasi riil di neraca PDB, harus apple to apple.

Kedua, investasi bruto yang dalam neraca PDB bukan semuanya investasi bisnis (seperti yang tercermin dari PMA dan PMDN), tetapi justru sebagian besar merupakan investasi bangunan. Fakta ini penting karena yang dibicarakan PPE-LIPI tampaknya adalah investasi bisnis.

Ketiga, investasi bisnis nominal yang tercatat di neraca PDB tidak semuanya tercatat oleh BKPM, sehingga angka investasi di BKPM jauh lebih rendah.

Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan & Pengangguran Agustus 6, 2008

Posted by luqman hakim in berita.
add a comment

Jika pada tahun ini angka kemiskinan meningkat dan pertumbuhan ekonomi melambat, itu adalah hal yang wajar. Pasalnya ekonomi memperoleh beban berat akibat kenaikan harga BBM yang sangat tinggi akhir tahun lalu. Yang aneh justru, mengapa angka pengangguran menurun?

Mimpi Indonesia yang dibenci China Agustus 6, 2008

Posted by luqman hakim in berita.
add a comment

Pertumbuhan ekonomi sepuluh persen? Bagi Indonesia, itu hanya ada dalam cerita mimpi. Untuk mencapai tujuh persen saja, pemerintah katanya harus bekerja EXTRA keras dan mencari berbagai langkah terobosan. Apalagi sepuluh persen?

Tapi bagi China, pertumbuhan 10% merupakan hal biasa, seperti halnya yang terjadi empat tahun terakhir. Malahan belakangan ini, pertumbuhan sebesar itu menjadi sesuatu yang tidak disukai. Konon katanya ekonomi China bisa overheating.

Saking tidak sukanya, ketika BPS China siang tadi mengumumkan ekonomi triwulan pertama tumbuh 11,1%, kepala BPS China menyertakan kata ”turut prihatin”. Rupanya, pertumbuhan di atas 10 persen di sana diperlakukan layaknya bencana.

Huhhh… andai 11,1% itu terjadi di Indonesia…

Stop Muji Ekspor ! Agustus 6, 2008

Posted by luqman hakim in berita.
add a comment

Barangkali kini saatnya bagi pemerintah untuk berhenti memuji ekspor. Faktanya selama 3 tahun terakhir, pertumbuhan ekspor semakin mengkhawatirkan karena terus mengalami penurunan. Tahun 2008, ekspor malah akan menghadapi tantangan lebih berat lagi karena ekonomi dunia yang diperkirakan melemah.

Stop muji ekspor! Lebih baik pikirkan solusi agar ekspor tidak semakin melambat.